Belakangan ini muncul beberapa tulisan2 yang inspiratif dan juga super segar.
Tulisan mengenai KPN oleh laskar merah pelangi dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk melakukan sesuatu agar sistem yang ada yang mungkin saja salah dapat diperbaiki menjadi lebih baik.
Tulisan kedua mengenai penerimaan beasiswa oleh tanpa nama sungguh sangat menggugah dan tajam mengena.
Memang benar,sudah saatnya alokasi beasiswa harus tepat sasaran. Saat ini bisa dibilang beasiswa hanya dirasakan oleh segelintir orang yang justru memiliki kehidupan yang mapan dan berkecukupan.
Betul,sistem itu harus dirubah mulai sekarang.
Bagi penulis kedua artikel kami memberikan apresiasi yang tinggi atas inspirasi dan keberanian saudara.
Tetap berkarya!
1 desember-hari AIDS sedunia
HIV AIDS adalah penyakit mematikan nomor wahid di dunia. Bahkan hingga kini belum ada obat yang mampu menyembuhkan secara sempurna.
Penularan penyakit ini dapat melalui beberapa media,misal : hubungan seks bebas tanpa menggunakan kondom (tp,menggunakan atau tidak tetap berbhaya),jarum suntik massal yg sering digunakan oleh pengguna narkoba,transfusi darah dan pertukaran cairan tubuh yang lain.
Orang2 yg berpotensi..
terkena penyakit ini juga tidak beranjak jauh dari sumbernya,seperti WTS,pengguna narkoba,clubbers,kaum homoseksual,bayi hasil hubungan gelap dan kita-orang awam sekalipun-berpotensi tertular meskipun dengan persentase yang kecil.
Tapi ingat,kecil bukan berarti tidak ada!
Himpunan Mahasiswa Manajemen mengajak seluruh mahasiswa fakultas ekonomi untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan kepedulian HIV AIDS yang akan diadakan pada hari senin,1 Desember 2008 di pelataran fakultas ekonomi.
Sikap peduli kita semoga dapat menambah nafas mereka.
Penularan penyakit ini dapat melalui beberapa media,misal : hubungan seks bebas tanpa menggunakan kondom (tp,menggunakan atau tidak tetap berbhaya),jarum suntik massal yg sering digunakan oleh pengguna narkoba,transfusi darah dan pertukaran cairan tubuh yang lain.
Orang2 yg berpotensi..
terkena penyakit ini juga tidak beranjak jauh dari sumbernya,seperti WTS,pengguna narkoba,clubbers,kaum homoseksual,bayi hasil hubungan gelap dan kita-orang awam sekalipun-berpotensi tertular meskipun dengan persentase yang kecil.
Tapi ingat,kecil bukan berarti tidak ada!
Himpunan Mahasiswa Manajemen mengajak seluruh mahasiswa fakultas ekonomi untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan kepedulian HIV AIDS yang akan diadakan pada hari senin,1 Desember 2008 di pelataran fakultas ekonomi.
Sikap peduli kita semoga dapat menambah nafas mereka.
Belajar Investasi Di Reksadana
Selasa, 18 November 2008
Memang pernah disinggung sebelumnya soal investasi dan cara cepat untuk kaya, namun kali ini saya akan coba mengulas lebih detil soal investasi di reksadana. Seperti yang Anda mungkin sudah tahu, reksadana (mutual fund) adalah wahana yang digunakan untuk menghimpun dana masyarakat (pemodal) untuk kemudian diinvestasikan ke dalam portofolio efek oleh manajer investasi (MI). Portofolio efek tersebut bisa berupa saham, obligasi, instrumen pasar uang, atau kombinasi dari beberapa di antaranya.
Orang bilang jangan letakkan telur-telur Anda dalam satu keranjang. Maksudnya, untuk mengoptimalkan keuntungan sekaligus meminimalkan risiko perlu dilakukan diversifikasi agar bila terjadi kerugian pada satu aset, masih bisa di-cover dengan aset lain untuk menghindari kerugian maksimal. Konsekuensinya, kita perlu membangun suatu portofolio aset, yakni sekumpulan aset dengan berbagai profil risiko yang berbeda seperti saham, obligasi, deposito, dan lainnya. Repotnya, untuk membangun portofolio ideal diperlukan dana yang relatif besar; hitung-hitungan saya, paling tidak perlu Rp 10 miliar.
Reksadana kemudian muncul sebagai solusi agar pemodal tak lagi kesulitan dalam berinvestasi. Kesulitan berupa dana yang mepet, keterbatasan pengetahuan dan informasi, kurangnya waktu dan tenaga untuk memonitor portofolio, dan risiko-risiko lain dapat diatasi dengan reksadana. Sebagai gambaran, penduduk Indonesia saat ini sekitar 230 juta jiwa, namun dana yang terkumpul dalam reksadana baru sekitar Rp 60 triliun saja (2006). Itu artinya reksadana masih merupakan wahana yang bagus dan potensial untuk berinvestasi.
Keuntungan Berinvestasi di Reksadana
1. Investor memiliki akses untuk menyusun portofolio dari beragam instrumen investasi yang sulit (dan mahal) untuk dilakukan sendiri.
2. Diversifikasi secara otomatis. Portofolio investor dengan sendirinya akan tersebar ke beragam aset sesuai dengan profil risiko masing-masing.
3. Barrier to entry rendah. Siapapun bisa memulai berinvestasi reksadana as low as Rp 200 ribu saja.
4. Investasi dikelola oleh MI profesional dengan administrasi oleh kustodian dan diawasi secara ketat oleh Bapepam LK.
5. Hasil investasi reksadana bukan (belum) menjadi obyek pajak. Kupon dari obligasi hingga saat ini juga belum menjadi obyek pajak.
6. Likuiditas tinggi. Unit penyertaan dapat dibeli atau dijual kembali setiap hari bursa melalui MI.
7. Investor institusional seperti dana pensiun, bank, perusahaan swasta, juga dapat memetik keuntungan dari reksadana.
8. Bagi pemerintah dan perusahaan emiten, reksadana merupakan salah satu sumber dana investasi yang dapat menjangkau investor secara luas sehingga dana terkumpul bisa jauh lebih besar.
Jenis-jenis Reksadana
Berdasar aturan hukumnya, reksadana dibagi menjadi:
Reksadana berbentuk perseroan
Perseroan menghimpun dana dengan menjual saham perdana (IPO), kemudian menggunakan dana tersebut untuk diinvestasikan dalam berbagai jenis efek.
Reksadana terbuka (open-end investment company); dimana investor bisa membeli saham dari reksadana dan menjual kembali tanpa dibatasi jumlah saham yang diterbitkan.
Reksadana tertutup (close-end investment company); investor hanya bisa melakukan jual beli melalui bursa efek dimana saham reksadana tersebut tercatat dengan jumlah tertentu.
Reksadana Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
Ini bentuk yang paling lazim, dimana ada kontrak antara MI dan bank kustodian yang mengikat pemegang unit penyertaan (UP). MI diberi wewenang untuk mengelola investasi kolektif dan bank kustodian memiliki wewenang untuk melakukan penitipan kolektif. Reksadana KIK tidak menerbitkan saham melainkan melalui UP sampai sebesar jumlah yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Investor yang berpartisipasi akan mendapat bukti penyertaan berupa surat konfirmasi dari bank kustodian.
Menurut portofolio investasinya, reksadana dibagi menjadi:
Reksadana Pasar Uang
Reksadana yang mayoritas alokasi investasinya pada efek pasar uang, yaitu efek utang berjangka kurang dari satu tahun seperti SBI, deposito, dan sebagainya. Tingkat risiko (dan return) relatif paling rendah. Reksadana ini cocok untuk jangka pendek sebagai pelengkap tabungan atau deposito. Tidak ada biaya pembelian dan penjualan kembali. NAB/NAV per UP selalu “di-reset” Rp 1.000 setiap harinya.
Reksadana Pendapatan Tetap
Reksadana yang setidaknya 80% alokasi investasinya pada efek utang jangka panjang. Potensi risiko dan return lebih besar daripada tabungan, deposito, atau reksadana pasar uang. Cocok untuk investasi jangka menengah (kurang dari 5 tahun). Ada sebagian reksadana yang membagikan keuntungan berupa dividen secara berkala.
Reksadana Saham
Reksadana yang melakukan investasi sekurangnya 80% dari portofolio ke efek ekuitas (saham). Dibanding reksadana lain, potensi risiko dan return relatif paling tinggi dan cocok untuk jangka panjang (3 tahun atau lebih).
Reksadana Campuran
Alokasi aset merupakan kombinasi antara efek ekuitas dan efek hutang yang tidak termasuk dalam kategori di atas. Potensi risiko dan return biasanya berada di antara reksadana pendapatan tetap dan reksadana saham.
Terdapat juga beberapa jenis reksadana lain seperti reksadana terproteksi, reksadana index fund, reksadana LQ45 ETF, juga reksadana internasional yang sangat beragam. Pembahasan lebih lanjut insya Allah akan ditulis di kesempatan yang lain.
Manajer Investasi (MI)
Dialah yang bertanggung jawab mengelola dana yang terkumpul dalam reksadana. MI take care terhadap setiap kegiatan investasi, mulai dari analisis investasi, pengambilan keputusan, monitoring pasar, atau mengambil tindakan emergency yang sekiranya diperlukan. MI harus mendapat ijin dari Bapepam LK. MI mendapat imbalan jasa dalam bentuk management fee, performance fee, dan entry/exit fee.
Bank Kustodian
Adalah pihak yang memegang dana investasi sehingga dana investor tidak dipegang langsung dan/atau disalahgunakan oleh MI. Bank kustodian mengawasi setiap penggunaan dana. Biasanya merupakan bank umum yang disetujui Bapepam LK untuk menyelenggarakan jasa kustodian atau penitipan efek secara kolektif dan harta lain serta menerima dividen, bunga, atau hak-hak lainnya. Bank kustodian mengutip custodian fee sekian persen dari dana kelolaan yang dipotong langsung dari NAB/NAV.
Selain sebagai lembaga penitipan dan pengamanan, bank kustodian juga merupakan administrator yang mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya dan bertugas menghitung NAB/NAV setiap jenis reksadana KIK per akhir hari bursa untuk kemudian diumumkan melalui media. Bank kustodian juga berfungsi sebagai transfer agent, yang mencatat seluruh transaksi seperti pembelian (subscription) atau pencairan (redemption) yang dilakukan tiap nasabah.
Selain menyelesaikan transaksi efek, bank kustodian akan memberikan surat konfirmasi sebagai tanda bukti atas setiap transaksi reksadana. Kalau investor melakukan transaksi langsung ke perusahaan pengelola reksadana, tanda bukti akan diberikan langsung kepada investor. Sementara bila investor bertransaksi melalui selling agent (seperti bank), biasanya tanda bukti “dititipkan” di selling agent tersebut.
Prospektus Reksadana
Buat sebagian orang mungkin merupakan dokumen yang garing dan membosankan. Tapi sesungguhnya prospektus adalah bacaan wajib yang perlu dipahami dan dijadikan acuan sebelum investor melakukan investasi di reksadana. Biasanya prospektus mendeskripsikan satu jenis reksadana, namun kadang mendeskripsikan juga beberapa reksadana sekaligus yang dikelola oleh perusahaan pengelola reksadana yang sama.
Periode perhitungan reksadana biasanya dimulai 1 Januari berakhir 31 Desember. Pada tiap periode tersebut biasanya prospektus diterbitkan oleh perusahaan pengelola reksadana. Berikut beberapa bagian penting dalam prospektus reksadana:
-Sampul depan (front cover)
-Memuat tanggal efektif reksadana pertama kali dikenalkan, tanggal mulai penawaran,
-pernyataan disclaimer, penjelasan singkat tentang reksadana (bentuk, tujuan,
-komposisi), informasi penawaran (jumlah UP, NAV/NAB, biaya-biaya, minimum
-pembelian), MI, bank kustodian, dan tanggal penerbitan prospektus.
-Istilah dan definisi
-Informasi/keterangan reksadana yang ditawarkan
Pada bagian ini berisi berisi mengenai dasar hukum reksa dana, pembentukan reksa dana, penawaran umum, pihak-pihak yang menempatkan dana awal, manfaat dari investasi pada reksa dana yang ditawarkan, dan pengelola reksa dana.
-Manajer investasi
-Bank kustodian
-Tujuan dan kebijakan investasi
Sesuai Peraturan Bapepam LK No. IV.B1 mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana berbentuk KIK perlu dijelaskan tentang tujuan dan kebijakan investasi reksadana yang ditawarkan, batasan-batasan, kebijakan pembagian keuntungan (profit-sharing), dan proses investasi itu sendiri.
-Metode penghitungan nilai pasar wajar
Biasanya memuat Surat Keputusan Ketua Bapepam LK No. Kep-24/PM/2004 19 Agustus tentang tata cara penghitungan nilai pasar wajar dari efek portofolio reksadana.
-Perpajakan
-Faktor-faktor risiko
-Imbalan jasa dan alokasi biaya
-Hak-hak pemegang unit penyertaan
-Pembubaran dan likuidasi
-Pendapat dari segi hukum
-Pendapat akuntan tentang laporan keuangan
-Tata cara dan persyaratan pembelian UP
-Tata cara dan persyaratan penjualan kembali UP
-Tata cara dan persyaratan pengalihan UP
-Skema pembelian dan penjualan kembali UP
-Penyebarluasan prospektus dan form pembelian UP
Laporan Keuangan Tahunan Reksadana
Tiap periode (tahun) perusahaan pengelola reksadana harus mengeluarkan laporan keuangan akhir tahun yang diaudit oleh auditor independen. Biasanya disertakan juga surat pemegang saham (shareholder letter) yang ditulis oleh presiden direktur atau MI yang berisi tinjauan tujuan investasi dan kinerja selama periode tersebut. Biasanya dibandingkan juga (benchmarking) kinerja reksadana dengan parameter industri seperti IHSG atau JII.
Laporan tahunan dilengkapi dengan tabel dan grafik untuk membandingkan pertumbuhan reksadana selama periode tertentu dan menjelaskan komposisi/persentase instrumen efek yang dimiliki. Laporan ini juga memaparkan NAB/NAV serta laba bersih yang diperoleh. Selain dari laporan tahunan, NAB/NAV lazim dimuat di surat kabar/majalah terkemuka dan situs internet seperti Bisnis Indonesia (registrasi gratis).
Laporan tahunan juga memuat posisi aktiva dan pasiva di penutupan pasar saham dan obligasi pada tanggal pelaporan. Aktiva adalah seberapa banyak investasi yang dilakukan di pasar, jaminan yang dipegang untuk dipinjamkan, serta piutang yang dimiliki. Pasiva adalah jumlah utang yang digunakan untuk membeli efek.
Portofolio dan perputaran portofolio (portofolio turnover) yang dibeli dan dijual selama periode tersebut juga dicantumkan dalam laporan tahunan. Prinsipnya, makin tinggi turnover biasanya menambah biaya transaksi dan menggerus potensi laba. Kebanyakan reksadana agresif yang mengejar pertumbuhan biasanya memiliki turnover sangat tinggi.
Catatan kaki (footnotes), yang mencakup hal-hal lain seperti kebijakan akuntansi, pihak-pihak berkepentingan, serta transaksi affiliasi (arms-length transaction) biasanya juga dicantumkan dalam laporan keuangan tersebut. Selain prospektus, laporan keuangan adalah bahan informasi penting yang mutlak dimiliki dan dimengerti investor guna pengambilan keputusan investasi.
Unit Penyertaan (UP)
Adalah satuan investasi dalam reksadana. Pada saat penawaran umum perdana, UP ditetapkan Rp 1.000 kecuali reksadana pasar uang yang selalu ditetapkan Rp 1.000 setiap awal hari bursa. Bila pada penawaran umum suatu reksadana terkumpul dana sebesar Rp 100 juta berarti ada 100 ribu lembar UP beredar dengan NAB/NAV Rp 1.000/UP.
NAB/NAV dalam rupiah biasanya dihitung sampai 4 angka desimal. Dalam contoh berikut, angka desimal dihilangkan hanya untuk kemudahan perhitungan semata.
Nilai Aktiva Bersih (NAB)/Net Asset Value (NAV)
Mengikuti contoh di atas, misalkan selama suatu periode MI mampu membukukan keuntungan 40% maka dana yang terkumpul akan menjadi Rp 140 juta. Jika sebelumnya NAB/NAV sebesar Rp 1.000/UP, kini nilainya naik jadi Rp 1.400/UP. Misal biaya yang dibebankan 1%, maka NAB/NAV Rp 138,6 juta atau Rp 1.386 per UP. Setelah dikurangi biaya-biaya tersebut, hasil investasi akan menjadi hak investor.
Misalkan saya berinvestasi dengan membeli 50 ribu UP pada penawaran umum, maka saya harus mengeluarkan dana Rp 1.000/UP atau Rp 50 juta. Jika saya ingin menjual UP yang saya miliki saat ini dengan harga Rp 1.386/UP maka saya akan menerima dana sebesar Rp 69,3 juta. Keuntungan yang saya peroleh sebesar Rp 19,3 juta.
Bila saat ini Anda ingin masuk, Anda harus membeli dengan harga Rp 1.386/UP. Misalkan Anda membeli 10 ribu UP, maka Anda harus membayar Rp 13,86 juta. Seandainya beberapa bulan kemudian NAB/NAV turun menjadi Rp 1.350/UP dan Anda ingin menjual reksadana Anda, maka Anda akan menerima dana Rp 13,5 juta. Dalam kasus ini Anda menderita rugi Rp 360 ribu.
Nilai NAB/NAV selalu update tiap hari bursa oleh bank kustodian dan diterbitkan di berbagai media. NAB/NAV tak serta merta menggambarkan mahal tidaknya reksadana. Reksadana yang baru ditawarkan biasanya NAB/NAVnya murah, sementara reksadana yang sudah eksis cukup lama bisa jadi memiliki NAB/NAV tinggi. Namun, NAB/NAV juga bisa dipengaruhi misalkan oleh kebijakan MI untuk melakukan split ratio yang akan mengubah nilai NAB/NAV dan jumlah UP — walau pada akhirnya nilai investasinya sama saja.
Membeli dan Menjual Reksadana
Membeli reksadana dikenakan selling fee tertentu. Misal suatu hari Anda membeli reksadana dengan investasi Rp 10 juta, NAB/NAV Rp 1.350/UP, dan selling fee sebesar 1%. Jumlah UP yang bisa diperoleh dapat dihitung dengan rumus:
UP = [investasi (1 - fee)] : NAB/NAV
UP = [Rp 10 jt (1 - 0,01)] : Rp 1.350/UP
UP = 7.333,3333 unit
NAB/NAV dihitung setiap akhir hari bursa. Jika Anda membayar dan memasukkan inquiry sebelum jam 12.00 WIB, NAB/NAV dihitung pada akhir hari tersebut. Namun juka Anda membeli setelah pukul 12.00 WIB, Anda akan dimasukkan ke NAB/NAV hari bursa berikutnya.
Sementara saat menjual reksadana, Anda akan dikenakan redemption fee. Misal hari ini Anda ingin membeli reksadana yang Anda beli di atas dengan NAB/NAV Rp 2.025/UP dan redemption fee sebesar 1,5%. Besarnya redemption dapat dihitung dengan rumus:
Redemption = UP x NAB/NAV (1 – fee)
Redemption = 7.333,3333 x Rp 2.025/UP (1 – 0,015)
Redemption = Rp 14.627.250
Jadi besarnya keuntungan anda adalah sebesar Rp 4.627.250. Return on investment (ROI) investasi Anda sebesar 46,27%.
Orang bilang jangan letakkan telur-telur Anda dalam satu keranjang. Maksudnya, untuk mengoptimalkan keuntungan sekaligus meminimalkan risiko perlu dilakukan diversifikasi agar bila terjadi kerugian pada satu aset, masih bisa di-cover dengan aset lain untuk menghindari kerugian maksimal. Konsekuensinya, kita perlu membangun suatu portofolio aset, yakni sekumpulan aset dengan berbagai profil risiko yang berbeda seperti saham, obligasi, deposito, dan lainnya. Repotnya, untuk membangun portofolio ideal diperlukan dana yang relatif besar; hitung-hitungan saya, paling tidak perlu Rp 10 miliar.
Reksadana kemudian muncul sebagai solusi agar pemodal tak lagi kesulitan dalam berinvestasi. Kesulitan berupa dana yang mepet, keterbatasan pengetahuan dan informasi, kurangnya waktu dan tenaga untuk memonitor portofolio, dan risiko-risiko lain dapat diatasi dengan reksadana. Sebagai gambaran, penduduk Indonesia saat ini sekitar 230 juta jiwa, namun dana yang terkumpul dalam reksadana baru sekitar Rp 60 triliun saja (2006). Itu artinya reksadana masih merupakan wahana yang bagus dan potensial untuk berinvestasi.
Keuntungan Berinvestasi di Reksadana
1. Investor memiliki akses untuk menyusun portofolio dari beragam instrumen investasi yang sulit (dan mahal) untuk dilakukan sendiri.
2. Diversifikasi secara otomatis. Portofolio investor dengan sendirinya akan tersebar ke beragam aset sesuai dengan profil risiko masing-masing.
3. Barrier to entry rendah. Siapapun bisa memulai berinvestasi reksadana as low as Rp 200 ribu saja.
4. Investasi dikelola oleh MI profesional dengan administrasi oleh kustodian dan diawasi secara ketat oleh Bapepam LK.
5. Hasil investasi reksadana bukan (belum) menjadi obyek pajak. Kupon dari obligasi hingga saat ini juga belum menjadi obyek pajak.
6. Likuiditas tinggi. Unit penyertaan dapat dibeli atau dijual kembali setiap hari bursa melalui MI.
7. Investor institusional seperti dana pensiun, bank, perusahaan swasta, juga dapat memetik keuntungan dari reksadana.
8. Bagi pemerintah dan perusahaan emiten, reksadana merupakan salah satu sumber dana investasi yang dapat menjangkau investor secara luas sehingga dana terkumpul bisa jauh lebih besar.
Jenis-jenis Reksadana
Berdasar aturan hukumnya, reksadana dibagi menjadi:
Reksadana berbentuk perseroan
Perseroan menghimpun dana dengan menjual saham perdana (IPO), kemudian menggunakan dana tersebut untuk diinvestasikan dalam berbagai jenis efek.
Reksadana terbuka (open-end investment company); dimana investor bisa membeli saham dari reksadana dan menjual kembali tanpa dibatasi jumlah saham yang diterbitkan.
Reksadana tertutup (close-end investment company); investor hanya bisa melakukan jual beli melalui bursa efek dimana saham reksadana tersebut tercatat dengan jumlah tertentu.
Reksadana Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
Ini bentuk yang paling lazim, dimana ada kontrak antara MI dan bank kustodian yang mengikat pemegang unit penyertaan (UP). MI diberi wewenang untuk mengelola investasi kolektif dan bank kustodian memiliki wewenang untuk melakukan penitipan kolektif. Reksadana KIK tidak menerbitkan saham melainkan melalui UP sampai sebesar jumlah yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Investor yang berpartisipasi akan mendapat bukti penyertaan berupa surat konfirmasi dari bank kustodian.
Menurut portofolio investasinya, reksadana dibagi menjadi:
Reksadana Pasar Uang
Reksadana yang mayoritas alokasi investasinya pada efek pasar uang, yaitu efek utang berjangka kurang dari satu tahun seperti SBI, deposito, dan sebagainya. Tingkat risiko (dan return) relatif paling rendah. Reksadana ini cocok untuk jangka pendek sebagai pelengkap tabungan atau deposito. Tidak ada biaya pembelian dan penjualan kembali. NAB/NAV per UP selalu “di-reset” Rp 1.000 setiap harinya.
Reksadana Pendapatan Tetap
Reksadana yang setidaknya 80% alokasi investasinya pada efek utang jangka panjang. Potensi risiko dan return lebih besar daripada tabungan, deposito, atau reksadana pasar uang. Cocok untuk investasi jangka menengah (kurang dari 5 tahun). Ada sebagian reksadana yang membagikan keuntungan berupa dividen secara berkala.
Reksadana Saham
Reksadana yang melakukan investasi sekurangnya 80% dari portofolio ke efek ekuitas (saham). Dibanding reksadana lain, potensi risiko dan return relatif paling tinggi dan cocok untuk jangka panjang (3 tahun atau lebih).
Reksadana Campuran
Alokasi aset merupakan kombinasi antara efek ekuitas dan efek hutang yang tidak termasuk dalam kategori di atas. Potensi risiko dan return biasanya berada di antara reksadana pendapatan tetap dan reksadana saham.
Terdapat juga beberapa jenis reksadana lain seperti reksadana terproteksi, reksadana index fund, reksadana LQ45 ETF, juga reksadana internasional yang sangat beragam. Pembahasan lebih lanjut insya Allah akan ditulis di kesempatan yang lain.
Manajer Investasi (MI)
Dialah yang bertanggung jawab mengelola dana yang terkumpul dalam reksadana. MI take care terhadap setiap kegiatan investasi, mulai dari analisis investasi, pengambilan keputusan, monitoring pasar, atau mengambil tindakan emergency yang sekiranya diperlukan. MI harus mendapat ijin dari Bapepam LK. MI mendapat imbalan jasa dalam bentuk management fee, performance fee, dan entry/exit fee.
Bank Kustodian
Adalah pihak yang memegang dana investasi sehingga dana investor tidak dipegang langsung dan/atau disalahgunakan oleh MI. Bank kustodian mengawasi setiap penggunaan dana. Biasanya merupakan bank umum yang disetujui Bapepam LK untuk menyelenggarakan jasa kustodian atau penitipan efek secara kolektif dan harta lain serta menerima dividen, bunga, atau hak-hak lainnya. Bank kustodian mengutip custodian fee sekian persen dari dana kelolaan yang dipotong langsung dari NAB/NAV.
Selain sebagai lembaga penitipan dan pengamanan, bank kustodian juga merupakan administrator yang mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya dan bertugas menghitung NAB/NAV setiap jenis reksadana KIK per akhir hari bursa untuk kemudian diumumkan melalui media. Bank kustodian juga berfungsi sebagai transfer agent, yang mencatat seluruh transaksi seperti pembelian (subscription) atau pencairan (redemption) yang dilakukan tiap nasabah.
Selain menyelesaikan transaksi efek, bank kustodian akan memberikan surat konfirmasi sebagai tanda bukti atas setiap transaksi reksadana. Kalau investor melakukan transaksi langsung ke perusahaan pengelola reksadana, tanda bukti akan diberikan langsung kepada investor. Sementara bila investor bertransaksi melalui selling agent (seperti bank), biasanya tanda bukti “dititipkan” di selling agent tersebut.
Prospektus Reksadana
Buat sebagian orang mungkin merupakan dokumen yang garing dan membosankan. Tapi sesungguhnya prospektus adalah bacaan wajib yang perlu dipahami dan dijadikan acuan sebelum investor melakukan investasi di reksadana. Biasanya prospektus mendeskripsikan satu jenis reksadana, namun kadang mendeskripsikan juga beberapa reksadana sekaligus yang dikelola oleh perusahaan pengelola reksadana yang sama.
Periode perhitungan reksadana biasanya dimulai 1 Januari berakhir 31 Desember. Pada tiap periode tersebut biasanya prospektus diterbitkan oleh perusahaan pengelola reksadana. Berikut beberapa bagian penting dalam prospektus reksadana:
-Sampul depan (front cover)
-Memuat tanggal efektif reksadana pertama kali dikenalkan, tanggal mulai penawaran,
-pernyataan disclaimer, penjelasan singkat tentang reksadana (bentuk, tujuan,
-komposisi), informasi penawaran (jumlah UP, NAV/NAB, biaya-biaya, minimum
-pembelian), MI, bank kustodian, dan tanggal penerbitan prospektus.
-Istilah dan definisi
-Informasi/keterangan reksadana yang ditawarkan
Pada bagian ini berisi berisi mengenai dasar hukum reksa dana, pembentukan reksa dana, penawaran umum, pihak-pihak yang menempatkan dana awal, manfaat dari investasi pada reksa dana yang ditawarkan, dan pengelola reksa dana.
-Manajer investasi
-Bank kustodian
-Tujuan dan kebijakan investasi
Sesuai Peraturan Bapepam LK No. IV.B1 mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana berbentuk KIK perlu dijelaskan tentang tujuan dan kebijakan investasi reksadana yang ditawarkan, batasan-batasan, kebijakan pembagian keuntungan (profit-sharing), dan proses investasi itu sendiri.
-Metode penghitungan nilai pasar wajar
Biasanya memuat Surat Keputusan Ketua Bapepam LK No. Kep-24/PM/2004 19 Agustus tentang tata cara penghitungan nilai pasar wajar dari efek portofolio reksadana.
-Perpajakan
-Faktor-faktor risiko
-Imbalan jasa dan alokasi biaya
-Hak-hak pemegang unit penyertaan
-Pembubaran dan likuidasi
-Pendapat dari segi hukum
-Pendapat akuntan tentang laporan keuangan
-Tata cara dan persyaratan pembelian UP
-Tata cara dan persyaratan penjualan kembali UP
-Tata cara dan persyaratan pengalihan UP
-Skema pembelian dan penjualan kembali UP
-Penyebarluasan prospektus dan form pembelian UP
Laporan Keuangan Tahunan Reksadana
Tiap periode (tahun) perusahaan pengelola reksadana harus mengeluarkan laporan keuangan akhir tahun yang diaudit oleh auditor independen. Biasanya disertakan juga surat pemegang saham (shareholder letter) yang ditulis oleh presiden direktur atau MI yang berisi tinjauan tujuan investasi dan kinerja selama periode tersebut. Biasanya dibandingkan juga (benchmarking) kinerja reksadana dengan parameter industri seperti IHSG atau JII.
Laporan tahunan dilengkapi dengan tabel dan grafik untuk membandingkan pertumbuhan reksadana selama periode tertentu dan menjelaskan komposisi/persentase instrumen efek yang dimiliki. Laporan ini juga memaparkan NAB/NAV serta laba bersih yang diperoleh. Selain dari laporan tahunan, NAB/NAV lazim dimuat di surat kabar/majalah terkemuka dan situs internet seperti Bisnis Indonesia (registrasi gratis).
Laporan tahunan juga memuat posisi aktiva dan pasiva di penutupan pasar saham dan obligasi pada tanggal pelaporan. Aktiva adalah seberapa banyak investasi yang dilakukan di pasar, jaminan yang dipegang untuk dipinjamkan, serta piutang yang dimiliki. Pasiva adalah jumlah utang yang digunakan untuk membeli efek.
Portofolio dan perputaran portofolio (portofolio turnover) yang dibeli dan dijual selama periode tersebut juga dicantumkan dalam laporan tahunan. Prinsipnya, makin tinggi turnover biasanya menambah biaya transaksi dan menggerus potensi laba. Kebanyakan reksadana agresif yang mengejar pertumbuhan biasanya memiliki turnover sangat tinggi.
Catatan kaki (footnotes), yang mencakup hal-hal lain seperti kebijakan akuntansi, pihak-pihak berkepentingan, serta transaksi affiliasi (arms-length transaction) biasanya juga dicantumkan dalam laporan keuangan tersebut. Selain prospektus, laporan keuangan adalah bahan informasi penting yang mutlak dimiliki dan dimengerti investor guna pengambilan keputusan investasi.
Unit Penyertaan (UP)
Adalah satuan investasi dalam reksadana. Pada saat penawaran umum perdana, UP ditetapkan Rp 1.000 kecuali reksadana pasar uang yang selalu ditetapkan Rp 1.000 setiap awal hari bursa. Bila pada penawaran umum suatu reksadana terkumpul dana sebesar Rp 100 juta berarti ada 100 ribu lembar UP beredar dengan NAB/NAV Rp 1.000/UP.
NAB/NAV dalam rupiah biasanya dihitung sampai 4 angka desimal. Dalam contoh berikut, angka desimal dihilangkan hanya untuk kemudahan perhitungan semata.
Nilai Aktiva Bersih (NAB)/Net Asset Value (NAV)
Mengikuti contoh di atas, misalkan selama suatu periode MI mampu membukukan keuntungan 40% maka dana yang terkumpul akan menjadi Rp 140 juta. Jika sebelumnya NAB/NAV sebesar Rp 1.000/UP, kini nilainya naik jadi Rp 1.400/UP. Misal biaya yang dibebankan 1%, maka NAB/NAV Rp 138,6 juta atau Rp 1.386 per UP. Setelah dikurangi biaya-biaya tersebut, hasil investasi akan menjadi hak investor.
Misalkan saya berinvestasi dengan membeli 50 ribu UP pada penawaran umum, maka saya harus mengeluarkan dana Rp 1.000/UP atau Rp 50 juta. Jika saya ingin menjual UP yang saya miliki saat ini dengan harga Rp 1.386/UP maka saya akan menerima dana sebesar Rp 69,3 juta. Keuntungan yang saya peroleh sebesar Rp 19,3 juta.
Bila saat ini Anda ingin masuk, Anda harus membeli dengan harga Rp 1.386/UP. Misalkan Anda membeli 10 ribu UP, maka Anda harus membayar Rp 13,86 juta. Seandainya beberapa bulan kemudian NAB/NAV turun menjadi Rp 1.350/UP dan Anda ingin menjual reksadana Anda, maka Anda akan menerima dana Rp 13,5 juta. Dalam kasus ini Anda menderita rugi Rp 360 ribu.
Nilai NAB/NAV selalu update tiap hari bursa oleh bank kustodian dan diterbitkan di berbagai media. NAB/NAV tak serta merta menggambarkan mahal tidaknya reksadana. Reksadana yang baru ditawarkan biasanya NAB/NAVnya murah, sementara reksadana yang sudah eksis cukup lama bisa jadi memiliki NAB/NAV tinggi. Namun, NAB/NAV juga bisa dipengaruhi misalkan oleh kebijakan MI untuk melakukan split ratio yang akan mengubah nilai NAB/NAV dan jumlah UP — walau pada akhirnya nilai investasinya sama saja.
Membeli dan Menjual Reksadana
Membeli reksadana dikenakan selling fee tertentu. Misal suatu hari Anda membeli reksadana dengan investasi Rp 10 juta, NAB/NAV Rp 1.350/UP, dan selling fee sebesar 1%. Jumlah UP yang bisa diperoleh dapat dihitung dengan rumus:
UP = [investasi (1 - fee)] : NAB/NAV
UP = [Rp 10 jt (1 - 0,01)] : Rp 1.350/UP
UP = 7.333,3333 unit
NAB/NAV dihitung setiap akhir hari bursa. Jika Anda membayar dan memasukkan inquiry sebelum jam 12.00 WIB, NAB/NAV dihitung pada akhir hari tersebut. Namun juka Anda membeli setelah pukul 12.00 WIB, Anda akan dimasukkan ke NAB/NAV hari bursa berikutnya.
Sementara saat menjual reksadana, Anda akan dikenakan redemption fee. Misal hari ini Anda ingin membeli reksadana yang Anda beli di atas dengan NAB/NAV Rp 2.025/UP dan redemption fee sebesar 1,5%. Besarnya redemption dapat dihitung dengan rumus:
Redemption = UP x NAB/NAV (1 – fee)
Redemption = 7.333,3333 x Rp 2.025/UP (1 – 0,015)
Redemption = Rp 14.627.250
Jadi besarnya keuntungan anda adalah sebesar Rp 4.627.250. Return on investment (ROI) investasi Anda sebesar 46,27%.
Mahasiswa : Pahlawan Tanpa Jasa
Gampang betul mendapatkan gelar pahlawan jaman sekarang. Hanya dengan berdemo, mengutuk pemerintah dengan kata-kata kotor, berbuat anarkis sambil bakar-bakaran, menantang polisi sambil lempar batu, memblokir jalan umum dan bikin macet, kasih bogem mentah ke setiap orang yang lewat—-tentu dengan dalih mengatasnamakan rakyat—-dan jadilah sudah.
No offense bagi keluarga-kerabat Maftuh Fauzi, tapi kata teman saya, “Orang gila mati gara-gara demo di jalan kok dibilang pahlawan rakyat.” Teman saya yang lain malah bilang, “Pahlawan itu orang yang berjasa buat negara, lah ini, Maftuh, apa yang diperbuatnya buat Indonesia?” Barangkali kalau para founding fathers negeri ini masih hidup, mereka akan menangis melihat gelar pahlawan diobral begitu murahnya.
Para mahasiswa itu mungkin lupa bahwa kita baru bisa mengatakan diri kita berguna jika hidup kita sungguh bisa membawa manfaat bagi orang banyak. Para mahasiswa ini mungkin merasa sudah terlampau hebat, menganggap diri mereka dewa reformasi, padahal mereka bukan superhero dan superbody yang bisa seenaknya berbuat ini-itu mengatasnamakan rakyat, demokrasi, dan seribu satu jargon lainnya.
Barangkali memang ada yang salah dengan pemikiran sebagian mahasiswa itu. Mereka enak-enak membakar mobil aparat, padahal mobil itu dibeli dengan uang rakyat. Pagar gedung DPR yang sebenarnya dibangun atas keringat rakyat dirusak begitu saja. Pembatas jalan tol yang dibuat untuk kepentingan rakyat juga ikut dirobohkan. Katanya mereka mendemo soal BBM, tapi malah memblokir dan membuat macet jalan, yang pada akhirnya malah membuat ongkos bensin terbuang sia-sia.
Mereka seenaknya meneriakkan nasionalisasi Freeport. Perusakan alamnya memang sungguh luar biasa, tapi apa mereka pernah mendenger setoran 1% profit untuk suku-suku di sana? Tahukah mereka untuk apa dana yang nilainya cukup besar itu digunakan? Pernahkah mereka mendengar masyarakat Desa Banti, Tembagapura yang direlokasi dan dibuatkan rumah sesuai permintaan namun bagaimana nasib rumah-rumah tersebut sekarang? Kalau mereka tahu keadaan sebenarnya, saya bertaruh mereka tak akan teriak demikian.
Mereka juga ngotot meminta nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang sekarang dimiliki asing. Tapi mereka lupa siapa yang sesungguhnya mengobral perusahaan-perusahaan tersebut sehingga sampai ke pangkuan asing tanpa memberi keuntungan buat bangsa sendiri. Mereka lupa bahwa main rampas dengan cara yang kasar tak cuma menurunkan kredibilitas Indonesia di mata dunia, tetapi juga membuat inflasi melompat tinggi yang pada akhirnya justru makin menyengsarakan rakyat.
Mereka berdemo dengan modal nekad serta berbekal narkoba dan miras. Polisi yang sedang menjalankan tugasnya malah mereka sebut “anjing” dan mereka lempari molotov. Tapi ketika jatuh korban, mereka membawa-bawa nama Komnas HAM atau Kontras. Siapa yang sebenarnya pengecut? Mestinya mereka sadar bahwa kepala benjol, terkena pentungan, tersiram water cannon, tertabrak, tertembak, cedera, berdarah, atau bahkan mati itu adalah resiko dari demo yang anarkis. Siapa yang sebenarnya kekanak-kanakan?
Pendek kata, mereka lupa bahwa negara ada karena rakyat. Dan apa yang mereka perbuat sesungguhnya justru sesuatu yang mendzalimi dan menyakiti hati rakyat banyak. Kalau memang ingin membela kepentingan rakyat:
1. mengapa tidak rajin belajar, segera selesaikan kuliah, dan membuat lapangan pekerjaan untuk menampung pengangguran di negeri ini yang jumlahnya bejibun?
2. mengapa tidak memikirkan solusi energi alternatif yang mudah dan murah bagi rakyat, mengingat masih ada 13% rumah tangga Indonesia yang belum terjangkau listrik?
3. mengapa tidak menggugat oknum LSM yang melacurkan diri ke bangsa lain dan menjelek-jelekkan bangsa sendiri demi kepentingan perut mereka?
4. mengapa tidak mendemo para pengemplang BLBI dan menuntut mereka mengembalikan utangnya yang mencapai triliunan rupiah?
5. mengapa tidak mendemo production house yang memproduksi sinetron yang berpotensi mendegradasi moral bangsa ini?
dan masih banyak mengapa-mengapa lain yang seharusnya dijawab sebelum mereka turun ke jalan.
Anyway, Anda mungkin heran mengapa kampus UNAS yang notabene tidak menunjukkan batang hidungnya era Mei 1998 tiba-tiba lantas mengemuka? Padahal di kampus “kecil” itu tidak banyak mahasiswa yang aktif dalam kemahasiswaan dan mengusung ideologi garis keras. Atau mungkin Anda juga bertanya-tanya mengapa kampus-kampus mainstream seperti UI, IPB, ITB, UGM, Undip, Unpad, Unair malah relatif tidak bergerak melawan pemerintah?
Ada sejumlah opsi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, mungkin mereka tidak ada dalam peta percaturan pergerakan mahasiswa sehingga lepas dari radar pengawasan aparat dan intelijen dan bisa bebas berkoar begitu saja. Kedua, jumlah aktivis yang kecil justru merupakan peluang untuk disusupi dan dimanfaatkan guna provokasi pihak-pihak tertentu di kampus-kampus tersebut.
Tapi barangkali jawaban yang lebih pas adalah karena mereka (maaf) tidak secerdas senior-senior mereka dari kampus-kampus mainstream. Para mahasiswa dari kampus mainstream mungkin cukup intelek untuk memahami bahwa kenaikan BBM memang berdasar alasan-alasan yang rasional dan relatif tidak banyak alternatif lain selain mengurangi subsidi. Wajar jika demo yang dilakukan mahasiswa dari kampus-kampus utama tersebut hanya ala kadarnya.
Dugaan ini makin kuat mengingat demo dari UNAS dan kampus “kecil” lainnya juga makin irasional. Awalnya mereka menuntut pertanggungjawaban polisi atas meninggalnya rekan mereka. Namun, ujung-ujungnya mereka menuntut Kapolsek, Kapolda, Kapolri, hingga SBY-JK mundur karena dianggap tidak kompeten. Sungguh merupakan tuntutan demo yang terlalu garing untuk dibilang sebagai sesuatu yang lucu. Apalagi secara kasat mata terlihat adanya aksi provokasi, penyebaran fitnah, dan pembentukan opini yang hanya mencari-cari kesalahan aparat kepolisian semata.
Saya percaya aparat kepolisian dan intelijen cukup cerdas untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan semacam ini. Mahasiswa juga perlu dikembalikan ke tempat duduknya semula sebagai agen perubahan yang mengusung nilai-nilai intelektual yang berbudi pekerti luhur. Mari sama-sama berdoa agar bangsa ini tak sampai terjebak pada chaos yang pernah terjadi sudah-sudah. Amien.
Dan ngomong-ngomong soal BBM, tahukah Anda bahwa di Simelue harga bensin mencapai Rp 20.000 per liter? Anehnya, masyarakat di sana tak banyak protes dan perekonomian masih terus berputar.
No offense bagi keluarga-kerabat Maftuh Fauzi, tapi kata teman saya, “Orang gila mati gara-gara demo di jalan kok dibilang pahlawan rakyat.” Teman saya yang lain malah bilang, “Pahlawan itu orang yang berjasa buat negara, lah ini, Maftuh, apa yang diperbuatnya buat Indonesia?” Barangkali kalau para founding fathers negeri ini masih hidup, mereka akan menangis melihat gelar pahlawan diobral begitu murahnya.
Para mahasiswa itu mungkin lupa bahwa kita baru bisa mengatakan diri kita berguna jika hidup kita sungguh bisa membawa manfaat bagi orang banyak. Para mahasiswa ini mungkin merasa sudah terlampau hebat, menganggap diri mereka dewa reformasi, padahal mereka bukan superhero dan superbody yang bisa seenaknya berbuat ini-itu mengatasnamakan rakyat, demokrasi, dan seribu satu jargon lainnya.
Barangkali memang ada yang salah dengan pemikiran sebagian mahasiswa itu. Mereka enak-enak membakar mobil aparat, padahal mobil itu dibeli dengan uang rakyat. Pagar gedung DPR yang sebenarnya dibangun atas keringat rakyat dirusak begitu saja. Pembatas jalan tol yang dibuat untuk kepentingan rakyat juga ikut dirobohkan. Katanya mereka mendemo soal BBM, tapi malah memblokir dan membuat macet jalan, yang pada akhirnya malah membuat ongkos bensin terbuang sia-sia.
Mereka seenaknya meneriakkan nasionalisasi Freeport. Perusakan alamnya memang sungguh luar biasa, tapi apa mereka pernah mendenger setoran 1% profit untuk suku-suku di sana? Tahukah mereka untuk apa dana yang nilainya cukup besar itu digunakan? Pernahkah mereka mendengar masyarakat Desa Banti, Tembagapura yang direlokasi dan dibuatkan rumah sesuai permintaan namun bagaimana nasib rumah-rumah tersebut sekarang? Kalau mereka tahu keadaan sebenarnya, saya bertaruh mereka tak akan teriak demikian.
Mereka juga ngotot meminta nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang sekarang dimiliki asing. Tapi mereka lupa siapa yang sesungguhnya mengobral perusahaan-perusahaan tersebut sehingga sampai ke pangkuan asing tanpa memberi keuntungan buat bangsa sendiri. Mereka lupa bahwa main rampas dengan cara yang kasar tak cuma menurunkan kredibilitas Indonesia di mata dunia, tetapi juga membuat inflasi melompat tinggi yang pada akhirnya justru makin menyengsarakan rakyat.
Mereka berdemo dengan modal nekad serta berbekal narkoba dan miras. Polisi yang sedang menjalankan tugasnya malah mereka sebut “anjing” dan mereka lempari molotov. Tapi ketika jatuh korban, mereka membawa-bawa nama Komnas HAM atau Kontras. Siapa yang sebenarnya pengecut? Mestinya mereka sadar bahwa kepala benjol, terkena pentungan, tersiram water cannon, tertabrak, tertembak, cedera, berdarah, atau bahkan mati itu adalah resiko dari demo yang anarkis. Siapa yang sebenarnya kekanak-kanakan?
Pendek kata, mereka lupa bahwa negara ada karena rakyat. Dan apa yang mereka perbuat sesungguhnya justru sesuatu yang mendzalimi dan menyakiti hati rakyat banyak. Kalau memang ingin membela kepentingan rakyat:
1. mengapa tidak rajin belajar, segera selesaikan kuliah, dan membuat lapangan pekerjaan untuk menampung pengangguran di negeri ini yang jumlahnya bejibun?
2. mengapa tidak memikirkan solusi energi alternatif yang mudah dan murah bagi rakyat, mengingat masih ada 13% rumah tangga Indonesia yang belum terjangkau listrik?
3. mengapa tidak menggugat oknum LSM yang melacurkan diri ke bangsa lain dan menjelek-jelekkan bangsa sendiri demi kepentingan perut mereka?
4. mengapa tidak mendemo para pengemplang BLBI dan menuntut mereka mengembalikan utangnya yang mencapai triliunan rupiah?
5. mengapa tidak mendemo production house yang memproduksi sinetron yang berpotensi mendegradasi moral bangsa ini?
dan masih banyak mengapa-mengapa lain yang seharusnya dijawab sebelum mereka turun ke jalan.
Anyway, Anda mungkin heran mengapa kampus UNAS yang notabene tidak menunjukkan batang hidungnya era Mei 1998 tiba-tiba lantas mengemuka? Padahal di kampus “kecil” itu tidak banyak mahasiswa yang aktif dalam kemahasiswaan dan mengusung ideologi garis keras. Atau mungkin Anda juga bertanya-tanya mengapa kampus-kampus mainstream seperti UI, IPB, ITB, UGM, Undip, Unpad, Unair malah relatif tidak bergerak melawan pemerintah?
Ada sejumlah opsi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, mungkin mereka tidak ada dalam peta percaturan pergerakan mahasiswa sehingga lepas dari radar pengawasan aparat dan intelijen dan bisa bebas berkoar begitu saja. Kedua, jumlah aktivis yang kecil justru merupakan peluang untuk disusupi dan dimanfaatkan guna provokasi pihak-pihak tertentu di kampus-kampus tersebut.
Tapi barangkali jawaban yang lebih pas adalah karena mereka (maaf) tidak secerdas senior-senior mereka dari kampus-kampus mainstream. Para mahasiswa dari kampus mainstream mungkin cukup intelek untuk memahami bahwa kenaikan BBM memang berdasar alasan-alasan yang rasional dan relatif tidak banyak alternatif lain selain mengurangi subsidi. Wajar jika demo yang dilakukan mahasiswa dari kampus-kampus utama tersebut hanya ala kadarnya.
Dugaan ini makin kuat mengingat demo dari UNAS dan kampus “kecil” lainnya juga makin irasional. Awalnya mereka menuntut pertanggungjawaban polisi atas meninggalnya rekan mereka. Namun, ujung-ujungnya mereka menuntut Kapolsek, Kapolda, Kapolri, hingga SBY-JK mundur karena dianggap tidak kompeten. Sungguh merupakan tuntutan demo yang terlalu garing untuk dibilang sebagai sesuatu yang lucu. Apalagi secara kasat mata terlihat adanya aksi provokasi, penyebaran fitnah, dan pembentukan opini yang hanya mencari-cari kesalahan aparat kepolisian semata.
Saya percaya aparat kepolisian dan intelijen cukup cerdas untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan semacam ini. Mahasiswa juga perlu dikembalikan ke tempat duduknya semula sebagai agen perubahan yang mengusung nilai-nilai intelektual yang berbudi pekerti luhur. Mari sama-sama berdoa agar bangsa ini tak sampai terjebak pada chaos yang pernah terjadi sudah-sudah. Amien.
Dan ngomong-ngomong soal BBM, tahukah Anda bahwa di Simelue harga bensin mencapai Rp 20.000 per liter? Anehnya, masyarakat di sana tak banyak protes dan perekonomian masih terus berputar.
PNS, Sumber Masalah Negeri Ini?
Rasanya setiap orang tahu bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) identik dengan birokrasi yang berbelit-belit, lamban dalam menyelesaikan pekerjaan, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, sigap mencari amplop dan sabetan, datang ke kantor paling akhir tapi pulang paling awal, dan sering keluyuran saat jam kerja.
Di tengah lapangan pekerjaan yang begitu terbatas, fasilitas yang ditawarkan kepada PNS sepintas bisa dibilang sangat menggiurkan. Tak perlu kerja ngoyo tapi gaji dan tunjangan lumayan, jam kerja pendek dan susah diberhentikan. Makanya tak heran bila setiap kali dibuka penerimaan PNS, peminatnya selalu membludak. Tak jarang yang sampai rela memberikan sogokan. This is (probably) the best job ever.
Benarkah PNS Profesi yang Aman?
Ada tulisan menarik dari Jay Rosengard tentang kebijakan fiskal, anggaran, dan krisis keuangan di Asia. Kita tahu bahwa pengelolaan dana pensiun di Indonesia dikuasai oleh ASABRI (untuk kalangan militer dan kepolisian), TASPEN (untuk PNS), dan Jamsostek (untuk swasta dan BUMN). Berdasar data World Bank 2003, ketiga institusi tersebut punya aset sekitar Rp 36 triliun per 2002.
Rosengard menilai institusi tersebut tidak piawai dalam mengelola investasi, kurang transparan dan terbuka, mismanajemen yang kronis, serta terlalu minim regulasi dan supervisi. Mereka tidak mampu memenuhi kewajiban untuk membayar pensiun (underfunded) tanpa adanya sokongan dana dari pemerintah. Situasi ini makin parah karena rasio pensiunan meningkat drastis sebagai akibat populasi yang kian menua dan skema pensiun yang makin ekstensif.
Data Asian Development Bank menunjukkan bahwa TASPEN mengalami defisit cashflow Rp 13,5 triliun pada tahun 2000. Berdasar sumber yang lain, kekurangan (shortfall) investasi TASPEN per 2003 sudah menembus angka Rp 300 triliun. Tentu saja defisit TASPEN akan makin membengkak dan ongkosnya kian mahal karena pemerintahan sekarang begitu jor-joran menerima pegawai baru.
Akibatnya, bukan tidak mungkin akan ada pensiunan yang tak kebagian jatahnya. Tapi mana ada presiden yang mau menanggung risiko didemo ribuan (jutaan) pensiunan PNS? Jadi langkah yang lebih realistis adalah membebankan shortfall TASPEN kepada negara. Ada isu bahwa per 2009, akan ada alokasi APBN yang dibelokkan untuk membayar para pensiunan. Kalau pemerintah masih kekurangan uang, bisa saja surat utang baru diterbitkan.
Apabila langkah tersebut diambil, tidak ada lagi pensiunan yang tak kebagian jatah. Namun dampaknya lebih berbahaya. Shortfall tersebut harus ditebus dengan peningkatan inflasi yang akan mendongkrak naiknya harga-harga. Bisa jadi para pensiunan tersebut menerima Rp 1,5 juta per bulan, namun harga bensin menjadi Rp 25 ribu per liter dan harga beras sudah Rp 20 ribu per kg. Harga-harga melonjak tinggi dan uang pensiun tak lagi mencukupi.
Masih “untung” bila mereka pensiun di usia produktif sehingga bisa punya usaha dan pekerjaan sambilan. Faktanya, jenjang karir PNS begitu panjang sehingga ketika pensiun usianya sudah cukup lanjut. Mau bekerja lagi, fisik sudah tidak memungkinkan. Mau mengandalkan anak-anak, mereka sudah sibuk mengurusi keluarganya masing-masing.
Kalau sudah begini, apakah profesi sebagai PNS masih merupakan profesi yang aman dan terjamin?
Rakyat Membayar Birokrat Terlalu Mahal
Tahukah Anda bahwa pegawai Departemen Pendidikan Nasional (selain guru) jumlahnya lebih dari 200 ribu orang? Tahukah Anda bahwa pegawai Departemen Agama jumlahnnya sekitar 180 ribu orang? Pemda DKI saja mempekerjakan lebih dari 90 ribu orang pegawai—-sama dengan jumlah karyawan Microsoft di seluruh dunia. Apa betul kita membutuhkan birokrat sebanyak itu?
Bandingkan dengan instansi lain. Hanya dengan 52 ribu orang karyawan se-Indonesia, PLN bisa mengaliri listrik wilayah Indonesia 24 jam setiap hari. Hanya dengan karyawan 26 ribu orang, surat menyurat se-Indonesia sudah bisa tertangani PT Pos Indonesia. Bandingkan dengan karyawan PT Telkom yang hanya 30 ribu orang atau Pertamina yang hanya 20 ribu orang di seantero Indonesia.
Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, ongkos pendidikan juga tak menjadi lebih murah. Metro TV melaporkan bahwa biaya pendidikan SD/MI rata-rata Rp 130 ribu per bulan dan SMP/MTs rata-rata Rp 175 ribu per bulan. Ongkos sebesar itu tentu tak mampu dijangkau sebagian besar penduduk yang masih di garis kemiskinan. Maka tak heran bila penduduk Indonesia jumlahnya 211 juta jiwa namun mereka yang masih buta huruf mencapai 15 juta jiwa.
Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, nyatanya data menunjukkan bahwa 50% SD dan MI serta 18% SMP dan MTs di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak. Di wilayah DKI saja, 2.552 sekolah rusak ringan dan 452 sekolah rusak parah. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi sekolah di pedalaman Kalimantan atau Papua.
Dengan pegawai Depag sebanyak itu, penyelesaian kasus sengketa aliran sesat membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan pegawai Depag sebanyak itu, faktanya ongkos naik haji juga tak menjadi lebih murah. Beberapa waktu lalu sejumlah calon jemaah haji melakukan demo karena kuotanya dicabut. Tentu masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus catering jemaah haji beberapa waktu lalu yang sangat memalukan.
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Keuangan, anggaran tahun 2009 untuk Depdiknas mencapai Rp 51 triliun—-terbesar di antara departemen teknis lainnya. Sementara anggaran untuk Depag mencapai Rp 20 triliun—-sedikit di bawah kepolisian (Rp 25 triliun), namun di atas Departemen Kesehatan (19 triliun), Departemen Perhubungan (Rp 16 triliun), dan Departemen Keuangan (Rp 15 triliun).
Selama ini anggaran tersebut memang disusun berdasar input, bukan output. Perhitungan belanja pegawai dan perlengkapannya masih didasarkan pada jumlah pegawai. Akibatnya, makin lama anggaran yang dialokasikan ikut-ikutan membesar. Sejak tahun 2004 memang telah dikenalkan pendekatan output yang berbasis kinerja—-namun realita dan praktik di lapangan masih belum seperti yang diharapkan.
Saat ini, baik Depag maupun Depdiknas menduduki peringkat atas lembaga terkorup selain Kejaksaan dan Kepolisian. Maka, salahkah kalau kita berpendapat bahwa rakyat sesungguhnya membayar para birokrat dengan terlalu boros?
Diet Ketat Birokrasi
Jumlah angkatan kerja di Indonesia sekitar 95 juta orang dimana 3,7 juta orang merupakan PNS. Terlihat bahwa PNS sebetulnya minoritas dengan ongkos sangat mahal dibanding angkatan kerja non-pemerintah. Ongkos tersebut harus ditanggung oleh rakyat tak hanya lewat belanja APBN yang besar, tetapi juga biaya birokrasi, biaya siluman, dan biaya lain yang menyebabkan menurunnya output ekonomi secara agregat.
Pos belanja pegawai pemerintah pusat menurut APBN-P 2007 mencapai Rp 98 triliun dan naik menjadi Rp 128 triliun pada APBN 2008—-masih lebih besar daripada subsidi tahun ini yang besarnya Rp 97 triliun. Jumlah belanja pegawai tersebut setara dengan penerimaan sumberdaya alam yang besarnya Rp 126 triliun. Artinya, menguras isi perut bumi pertiwi masih belum cukup untuk membayar para PNS.
Oleh karena itu, mengurangi jumlah birokrat adalah langkah yang mendesak untuk dilakukan. Cara yang bisa ditempuh adalah membatasi input pegawai baru dengan sangat ketat karena penurunan secara organik membutuhkan waktu yang sangat lama. Sistem kontrak bisa dipilih karena PNS akan menjadi terpacu mengejar target dan meningkatkan kinerja—-kalau gagal, bisa diberhentikan. Sistem yang ada selama ini cenderung melumpuhkan kreativitas dan kinerja—-toh, ngebut atau lelet gaji dan tunjangan tetap dibayarkan.
Di sisi lain, pegawai yang ada sedapat mungkin diperpendek jenjang karirnya agar tidak terlalu lama membebani. Skenario golden handshake bisa dipilih lewat pemberian pelatihan kewirausahaan pada calon pensiunan serta bantuan modal dengan cicilan/bunga yang tidak terlalu mengikat. Modal bisa disesuaikan dengan biaya gaji yang dipotong sebelumnya agar tidak menambah beban pemerintah. Kalaupun harus diambil dari pos lain, tidak masalah karena aliran uang tersebut akan mengalir dalam bentuk konsumsi dan investasi yang merupakan stimulus perekonomian.
Apabila skema tersebut sukses dilakukan, maka akan mendorong lebih banyak lagi PNS yang tertarik menerima golden handshake. Pengurangan PNS bisa dipercepat dan uang negara yang dihemat dalam jangka panjang bisa lebih besar. Dengan memberikan kemudahan fasilitas (misal administrasi dan kredit) akan tercetak lebih banyak entrepreneur yang kelak merekrut lebih banyak lagi angkatan kerja. Jumlah pembayar pajak bisa meningkat yang pada akhirnya menambah penerimaan bagi negara.
Tak kalah penting, aturan bahwa “PNS tidak bisa dipecat” juga harus dihapuskan. Tentu saja hal ini harus disertai dengan memperkuat jabatan fungsional dan menyunat jabatan struktural. Dengan pola ini, yang moncer bisa dipromosikan sementara yang letoy bisa dipecat. Selama ini sudah terlihat adanya inisiatif untuk menyingkirkan PNS yang bermasalah namun selalu terhambat aturan kepegawaian. Dengan merombak total struktur dan aturan kepegawaian yang ada, hal itu dimungkinkan.
Kalau pemerintah mau melakukan hal ini, APBN bisa dihemat puluhan (ratusan) triliun. Efek lainnya, berkurangnya PNS berarti memudahkan supervisi dan pencegahan terhadap KKN. Dengan berkurangnya jumlah PNS, belanja perlengkapan bisa dihemat dan peralatan yang ada saat ini (meja, kursi, stationery, komputer, dll) bisa diberikan untuk sekolah-sekolah yang kekurangan. At the end of the story, rakyat menjadi lebih happy karena berurusan dengan birokrat jadi lebih mudah dan tidak berbelit.
Tantangan untuk Memangkas PNS
Idealnya, PNS di negeri ini ditekan jumlahnya namun ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian, PNS bisa mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik tanpa harus melakukan pungli atau korupsi. Dengan perbaikan kesejahteraan, seharusnya nafsu untuk mencari sabetan juga bisa ditekan. Walau begitu, jelas bukan perkara yang mudah untuk memotong jumlah PNS yang ada saat ini. Pemerintah (presiden) tentu menghadapi risiko-risiko seperti:
Resistensi Internal
Dengan sistem yang telah ada saat ini, ada kecenderungan para pejabat berusaha membuat ukuran departemennya tetap besar. Makin besar berarti makin sulit dikendalikan oleh pihak lain sekaligus makin sulit dibubarkan. Akibatnya, pegawai menjadi seperti kekuatan massa di partai politik. Serikat pekerja yang terbentuk menjadi terdorong untuk mementingkan kesejahteraan mereka sendiri dan mengabaikan mereka di luar yang belum mendapat pekerjaan. Tak heran bila jumlah PNS terus membengkak dengan ongkos yang kian mahal—-masa bodoh dengan efisiensi dan efektivitas.
Imej di Mata Rakyat
Bagi sebagian masyarakat tradisional di Indonesia, rekrutmen PNS dipandang sebagai indikator bahwa perekonomian bagus karena negara mampu membiayai dan mempekerjakan banyak orang. Di beberapa wilayah, banyak yang rela menjual tanah dan sawah agar anak-anaknya bisa bersekolah dengan harapan agar menjadi PNS. Kalau jumlah PNS dikurangi dan rekrutmen dibatasi, imej pemerintah (presiden) di mata rakyat akan anjlok. Dampak lainnya, bisa jadi angka partisipasi pendidikan akan menurun. Dalam skala yang lebih akut, hal ini bisa menyebabkan destabilisasi mata uang rupiah akibat merosotnya kepercayaan kepada pemerintah.
Risiko Politik
Mana ada presiden yang berani menanggung risiko dihujat rakyat selama menjabat plus risiko hampir pasti tak terpilih untuk masa jabatan berikutnya? Belum lagi hal ini bisa mendorong berkurangnya dukungan politik yang berpindah ke tokoh lain. Kalau hal ini terjadi, kursi kabinet bisa digoyang oleh orang-orang yang tidak puas. Class action dan pergerakan besar-besaran di jalan sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh lawan politik yang suka melibas di tikungan.
Last But Not Least
Sebagian besar PNS di negeri ini pendidikannya SMA (35%) sementara yang Sarjana hanya 28,9%. Lebih menyedihkan lagi, PNS bergelar S2 dan S3 hanya 2,5% dan 0,2% saja. Artinya, selain jumlahnya besar, kualitasnya pun masih perlu dipertanyakan. Terlebih lagi, ongkos yang dikeluarkan untuk menggaji mereka begitu mahal—-lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
Andaikata saya adalah pemerintah, maka birokrasi yang efisien adalah prioritas pertama saya. Selama ini permasalahan tersebut tidak pernah mendapat sorotan yang memadai dan hanya menjadi wacana. Agar tak hanya jadi sekedar polemik, kebijakan tersebut harus di-lock dengan konstitusi. Memang tidak ada jaminan presiden selanjutnya akan meneruskan program ini, namun setidaknya program ini bisa lebih menggigit. Memang tidak ada jaminan program ini akan berhasil 100%, namun setidaknya rakyat bisa menilai dengan lebih proporsional.
Kita bukan negara yang kaya sehingga uang yang ada harus dibelanjakan dengan ketat dan tepat. Selain itu, untuk menjadi negara yang lebih baik, pegawainya juga harus kompeten dan tidak korup. Dan salah satu jalan yang paling logis adalah efisiensi birokrasi.
Di tengah lapangan pekerjaan yang begitu terbatas, fasilitas yang ditawarkan kepada PNS sepintas bisa dibilang sangat menggiurkan. Tak perlu kerja ngoyo tapi gaji dan tunjangan lumayan, jam kerja pendek dan susah diberhentikan. Makanya tak heran bila setiap kali dibuka penerimaan PNS, peminatnya selalu membludak. Tak jarang yang sampai rela memberikan sogokan. This is (probably) the best job ever.
Benarkah PNS Profesi yang Aman?
Ada tulisan menarik dari Jay Rosengard tentang kebijakan fiskal, anggaran, dan krisis keuangan di Asia. Kita tahu bahwa pengelolaan dana pensiun di Indonesia dikuasai oleh ASABRI (untuk kalangan militer dan kepolisian), TASPEN (untuk PNS), dan Jamsostek (untuk swasta dan BUMN). Berdasar data World Bank 2003, ketiga institusi tersebut punya aset sekitar Rp 36 triliun per 2002.
Rosengard menilai institusi tersebut tidak piawai dalam mengelola investasi, kurang transparan dan terbuka, mismanajemen yang kronis, serta terlalu minim regulasi dan supervisi. Mereka tidak mampu memenuhi kewajiban untuk membayar pensiun (underfunded) tanpa adanya sokongan dana dari pemerintah. Situasi ini makin parah karena rasio pensiunan meningkat drastis sebagai akibat populasi yang kian menua dan skema pensiun yang makin ekstensif.
Data Asian Development Bank menunjukkan bahwa TASPEN mengalami defisit cashflow Rp 13,5 triliun pada tahun 2000. Berdasar sumber yang lain, kekurangan (shortfall) investasi TASPEN per 2003 sudah menembus angka Rp 300 triliun. Tentu saja defisit TASPEN akan makin membengkak dan ongkosnya kian mahal karena pemerintahan sekarang begitu jor-joran menerima pegawai baru.
Akibatnya, bukan tidak mungkin akan ada pensiunan yang tak kebagian jatahnya. Tapi mana ada presiden yang mau menanggung risiko didemo ribuan (jutaan) pensiunan PNS? Jadi langkah yang lebih realistis adalah membebankan shortfall TASPEN kepada negara. Ada isu bahwa per 2009, akan ada alokasi APBN yang dibelokkan untuk membayar para pensiunan. Kalau pemerintah masih kekurangan uang, bisa saja surat utang baru diterbitkan.
Apabila langkah tersebut diambil, tidak ada lagi pensiunan yang tak kebagian jatah. Namun dampaknya lebih berbahaya. Shortfall tersebut harus ditebus dengan peningkatan inflasi yang akan mendongkrak naiknya harga-harga. Bisa jadi para pensiunan tersebut menerima Rp 1,5 juta per bulan, namun harga bensin menjadi Rp 25 ribu per liter dan harga beras sudah Rp 20 ribu per kg. Harga-harga melonjak tinggi dan uang pensiun tak lagi mencukupi.
Masih “untung” bila mereka pensiun di usia produktif sehingga bisa punya usaha dan pekerjaan sambilan. Faktanya, jenjang karir PNS begitu panjang sehingga ketika pensiun usianya sudah cukup lanjut. Mau bekerja lagi, fisik sudah tidak memungkinkan. Mau mengandalkan anak-anak, mereka sudah sibuk mengurusi keluarganya masing-masing.
Kalau sudah begini, apakah profesi sebagai PNS masih merupakan profesi yang aman dan terjamin?
Rakyat Membayar Birokrat Terlalu Mahal
Tahukah Anda bahwa pegawai Departemen Pendidikan Nasional (selain guru) jumlahnya lebih dari 200 ribu orang? Tahukah Anda bahwa pegawai Departemen Agama jumlahnnya sekitar 180 ribu orang? Pemda DKI saja mempekerjakan lebih dari 90 ribu orang pegawai—-sama dengan jumlah karyawan Microsoft di seluruh dunia. Apa betul kita membutuhkan birokrat sebanyak itu?
Bandingkan dengan instansi lain. Hanya dengan 52 ribu orang karyawan se-Indonesia, PLN bisa mengaliri listrik wilayah Indonesia 24 jam setiap hari. Hanya dengan karyawan 26 ribu orang, surat menyurat se-Indonesia sudah bisa tertangani PT Pos Indonesia. Bandingkan dengan karyawan PT Telkom yang hanya 30 ribu orang atau Pertamina yang hanya 20 ribu orang di seantero Indonesia.
Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, ongkos pendidikan juga tak menjadi lebih murah. Metro TV melaporkan bahwa biaya pendidikan SD/MI rata-rata Rp 130 ribu per bulan dan SMP/MTs rata-rata Rp 175 ribu per bulan. Ongkos sebesar itu tentu tak mampu dijangkau sebagian besar penduduk yang masih di garis kemiskinan. Maka tak heran bila penduduk Indonesia jumlahnya 211 juta jiwa namun mereka yang masih buta huruf mencapai 15 juta jiwa.
Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, nyatanya data menunjukkan bahwa 50% SD dan MI serta 18% SMP dan MTs di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak. Di wilayah DKI saja, 2.552 sekolah rusak ringan dan 452 sekolah rusak parah. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi sekolah di pedalaman Kalimantan atau Papua.
Dengan pegawai Depag sebanyak itu, penyelesaian kasus sengketa aliran sesat membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan pegawai Depag sebanyak itu, faktanya ongkos naik haji juga tak menjadi lebih murah. Beberapa waktu lalu sejumlah calon jemaah haji melakukan demo karena kuotanya dicabut. Tentu masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus catering jemaah haji beberapa waktu lalu yang sangat memalukan.
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Keuangan, anggaran tahun 2009 untuk Depdiknas mencapai Rp 51 triliun—-terbesar di antara departemen teknis lainnya. Sementara anggaran untuk Depag mencapai Rp 20 triliun—-sedikit di bawah kepolisian (Rp 25 triliun), namun di atas Departemen Kesehatan (19 triliun), Departemen Perhubungan (Rp 16 triliun), dan Departemen Keuangan (Rp 15 triliun).
Selama ini anggaran tersebut memang disusun berdasar input, bukan output. Perhitungan belanja pegawai dan perlengkapannya masih didasarkan pada jumlah pegawai. Akibatnya, makin lama anggaran yang dialokasikan ikut-ikutan membesar. Sejak tahun 2004 memang telah dikenalkan pendekatan output yang berbasis kinerja—-namun realita dan praktik di lapangan masih belum seperti yang diharapkan.
Saat ini, baik Depag maupun Depdiknas menduduki peringkat atas lembaga terkorup selain Kejaksaan dan Kepolisian. Maka, salahkah kalau kita berpendapat bahwa rakyat sesungguhnya membayar para birokrat dengan terlalu boros?
Diet Ketat Birokrasi
Jumlah angkatan kerja di Indonesia sekitar 95 juta orang dimana 3,7 juta orang merupakan PNS. Terlihat bahwa PNS sebetulnya minoritas dengan ongkos sangat mahal dibanding angkatan kerja non-pemerintah. Ongkos tersebut harus ditanggung oleh rakyat tak hanya lewat belanja APBN yang besar, tetapi juga biaya birokrasi, biaya siluman, dan biaya lain yang menyebabkan menurunnya output ekonomi secara agregat.
Pos belanja pegawai pemerintah pusat menurut APBN-P 2007 mencapai Rp 98 triliun dan naik menjadi Rp 128 triliun pada APBN 2008—-masih lebih besar daripada subsidi tahun ini yang besarnya Rp 97 triliun. Jumlah belanja pegawai tersebut setara dengan penerimaan sumberdaya alam yang besarnya Rp 126 triliun. Artinya, menguras isi perut bumi pertiwi masih belum cukup untuk membayar para PNS.
Oleh karena itu, mengurangi jumlah birokrat adalah langkah yang mendesak untuk dilakukan. Cara yang bisa ditempuh adalah membatasi input pegawai baru dengan sangat ketat karena penurunan secara organik membutuhkan waktu yang sangat lama. Sistem kontrak bisa dipilih karena PNS akan menjadi terpacu mengejar target dan meningkatkan kinerja—-kalau gagal, bisa diberhentikan. Sistem yang ada selama ini cenderung melumpuhkan kreativitas dan kinerja—-toh, ngebut atau lelet gaji dan tunjangan tetap dibayarkan.
Di sisi lain, pegawai yang ada sedapat mungkin diperpendek jenjang karirnya agar tidak terlalu lama membebani. Skenario golden handshake bisa dipilih lewat pemberian pelatihan kewirausahaan pada calon pensiunan serta bantuan modal dengan cicilan/bunga yang tidak terlalu mengikat. Modal bisa disesuaikan dengan biaya gaji yang dipotong sebelumnya agar tidak menambah beban pemerintah. Kalaupun harus diambil dari pos lain, tidak masalah karena aliran uang tersebut akan mengalir dalam bentuk konsumsi dan investasi yang merupakan stimulus perekonomian.
Apabila skema tersebut sukses dilakukan, maka akan mendorong lebih banyak lagi PNS yang tertarik menerima golden handshake. Pengurangan PNS bisa dipercepat dan uang negara yang dihemat dalam jangka panjang bisa lebih besar. Dengan memberikan kemudahan fasilitas (misal administrasi dan kredit) akan tercetak lebih banyak entrepreneur yang kelak merekrut lebih banyak lagi angkatan kerja. Jumlah pembayar pajak bisa meningkat yang pada akhirnya menambah penerimaan bagi negara.
Tak kalah penting, aturan bahwa “PNS tidak bisa dipecat” juga harus dihapuskan. Tentu saja hal ini harus disertai dengan memperkuat jabatan fungsional dan menyunat jabatan struktural. Dengan pola ini, yang moncer bisa dipromosikan sementara yang letoy bisa dipecat. Selama ini sudah terlihat adanya inisiatif untuk menyingkirkan PNS yang bermasalah namun selalu terhambat aturan kepegawaian. Dengan merombak total struktur dan aturan kepegawaian yang ada, hal itu dimungkinkan.
Kalau pemerintah mau melakukan hal ini, APBN bisa dihemat puluhan (ratusan) triliun. Efek lainnya, berkurangnya PNS berarti memudahkan supervisi dan pencegahan terhadap KKN. Dengan berkurangnya jumlah PNS, belanja perlengkapan bisa dihemat dan peralatan yang ada saat ini (meja, kursi, stationery, komputer, dll) bisa diberikan untuk sekolah-sekolah yang kekurangan. At the end of the story, rakyat menjadi lebih happy karena berurusan dengan birokrat jadi lebih mudah dan tidak berbelit.
Tantangan untuk Memangkas PNS
Idealnya, PNS di negeri ini ditekan jumlahnya namun ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian, PNS bisa mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik tanpa harus melakukan pungli atau korupsi. Dengan perbaikan kesejahteraan, seharusnya nafsu untuk mencari sabetan juga bisa ditekan. Walau begitu, jelas bukan perkara yang mudah untuk memotong jumlah PNS yang ada saat ini. Pemerintah (presiden) tentu menghadapi risiko-risiko seperti:
Resistensi Internal
Dengan sistem yang telah ada saat ini, ada kecenderungan para pejabat berusaha membuat ukuran departemennya tetap besar. Makin besar berarti makin sulit dikendalikan oleh pihak lain sekaligus makin sulit dibubarkan. Akibatnya, pegawai menjadi seperti kekuatan massa di partai politik. Serikat pekerja yang terbentuk menjadi terdorong untuk mementingkan kesejahteraan mereka sendiri dan mengabaikan mereka di luar yang belum mendapat pekerjaan. Tak heran bila jumlah PNS terus membengkak dengan ongkos yang kian mahal—-masa bodoh dengan efisiensi dan efektivitas.
Imej di Mata Rakyat
Bagi sebagian masyarakat tradisional di Indonesia, rekrutmen PNS dipandang sebagai indikator bahwa perekonomian bagus karena negara mampu membiayai dan mempekerjakan banyak orang. Di beberapa wilayah, banyak yang rela menjual tanah dan sawah agar anak-anaknya bisa bersekolah dengan harapan agar menjadi PNS. Kalau jumlah PNS dikurangi dan rekrutmen dibatasi, imej pemerintah (presiden) di mata rakyat akan anjlok. Dampak lainnya, bisa jadi angka partisipasi pendidikan akan menurun. Dalam skala yang lebih akut, hal ini bisa menyebabkan destabilisasi mata uang rupiah akibat merosotnya kepercayaan kepada pemerintah.
Risiko Politik
Mana ada presiden yang berani menanggung risiko dihujat rakyat selama menjabat plus risiko hampir pasti tak terpilih untuk masa jabatan berikutnya? Belum lagi hal ini bisa mendorong berkurangnya dukungan politik yang berpindah ke tokoh lain. Kalau hal ini terjadi, kursi kabinet bisa digoyang oleh orang-orang yang tidak puas. Class action dan pergerakan besar-besaran di jalan sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh lawan politik yang suka melibas di tikungan.
Last But Not Least
Sebagian besar PNS di negeri ini pendidikannya SMA (35%) sementara yang Sarjana hanya 28,9%. Lebih menyedihkan lagi, PNS bergelar S2 dan S3 hanya 2,5% dan 0,2% saja. Artinya, selain jumlahnya besar, kualitasnya pun masih perlu dipertanyakan. Terlebih lagi, ongkos yang dikeluarkan untuk menggaji mereka begitu mahal—-lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
Andaikata saya adalah pemerintah, maka birokrasi yang efisien adalah prioritas pertama saya. Selama ini permasalahan tersebut tidak pernah mendapat sorotan yang memadai dan hanya menjadi wacana. Agar tak hanya jadi sekedar polemik, kebijakan tersebut harus di-lock dengan konstitusi. Memang tidak ada jaminan presiden selanjutnya akan meneruskan program ini, namun setidaknya program ini bisa lebih menggigit. Memang tidak ada jaminan program ini akan berhasil 100%, namun setidaknya rakyat bisa menilai dengan lebih proporsional.
Kita bukan negara yang kaya sehingga uang yang ada harus dibelanjakan dengan ketat dan tepat. Selain itu, untuk menjadi negara yang lebih baik, pegawainya juga harus kompeten dan tidak korup. Dan salah satu jalan yang paling logis adalah efisiensi birokrasi.
Lomba karya tulis mahasiswa
Senin, 17 November 2008
Pada bulan November ini himmajemen akan mengadakan Lomba karya tulis mahasiswa khusus jur manajemen. Nah bgi qmu yang merasa mhs jur manajemen bisa ikut kegiatan ini,tanpa btas angkatan.
Untk informasi lebih jelas qmu bsa menghubungi
kak kartika/kak Ai ato datang ke sekre himmajemen u/ info lbih jelas. Dan rajin2 lihat pngumuman ato selebaran di dinding2 kampus u/ informasi lbh lanjut.
Dan sbgai bonus qmu bisa konsultasi pnyusunan karya tulis ke nama2 di bwah ini (gratis):
-kak Ai
-kak Given
-kak Bambang
ayo ikutan,yang menang bisa ikutan k tingkat nasional!
Untk informasi lebih jelas qmu bsa menghubungi
kak kartika/kak Ai ato datang ke sekre himmajemen u/ info lbih jelas. Dan rajin2 lihat pngumuman ato selebaran di dinding2 kampus u/ informasi lbh lanjut.
Dan sbgai bonus qmu bisa konsultasi pnyusunan karya tulis ke nama2 di bwah ini (gratis):
-kak Ai
-kak Given
-kak Bambang
ayo ikutan,yang menang bisa ikutan k tingkat nasional!
Langganan:
Postingan (Atom)
